Tempe Busuk
Kedai kecil itu masih ada di pojok terminal. Meski terminal itu sendiri kini sudah tidak difungsikan. Kini yang tinggal hanyalah bangunan halte yang semakin menua. Tiang-tiang besinya masih kokoh, namun atap seng yang menaungi sudah mulai berkarat di sana-sini. Di pinggir terminal berbatasan dengan sebuah sungai kecil, berdiri berderet lapak-lapak. Kini lapak itu hanya 2 yang masih digunakan untuk berjualan makanan. Yang satu berjualan nasi soto, sedang yang di pojok berjualan masakan khas Klaten: nasi tumpang. Penjual nasi tumpang di terminal itu seangkatan dengan ibuku. Dahulu ibu juga menjadi salah satu yang membuka warung makan di terminal ini.
Ibu Mento, nama penjual nasi tumpang itu sudah menjalani profesinya selama puluhan tahun. Rasa nasi tumpang yang dijualnyapun masih seperti yang dulu. Nasi tumpang adalah nasi yang diatasnya terdapat urap dan sayur lethok. Urap ini terdiri dari daun pepaya rebus ditambah dengan nangka muda rebus yang dicacah halus, ditaburi dengan daun kemangi dan bubuk kedelai pedas. Sebelumnya dihidangkan dicampur dulu dengan bumbu parutan kelapa muda yang dicampur dengan berbagai macam bumbu yang dimasak dengan cara di tim. Sesudah urap dan bumbu diletakkan diatas nasi, kemudian disiram dengan sambal tumpang.
Sambal tumpang atau sayur lethok begitu ibuku menyebutnya adalah sayur yang istimewa. Bahan utamanya adalah tempe. Namun bukan sembarang tempe bisa digunakan, hanya tempe yang sudah mulai membusuk dapat menciptakan cita rasa yang khas dan istimewa. Tempe yang busuk ini direbus bersama-sama dengan bumbu-bumbunya seperti bawang merah, bawah putih, kencur, daun jeruk purut dan beberapa bumbu lain yang sudah tidak bisa aku ingat lagi. Bumbu-bumbu dihaluskan sebelum kemudian ditumis kembali. Tempe busuk yang sudah direbus kemudian diuleg hingga setengah hancur. Setelah bumbu ditumis dan tempe dimasukkan, ditambahkan juga beberapa pelengkap seperti potongan tahu putih, kerupuk kulit sapi dan cabe rawit dan terakhir adalah santan cair. Rasanya memang khas, tapi tentu saja bagi generasi sekarang nasi tumpang sudah kalah pamor dengan masakan-masakan modern seperti yang dijual di restoran atau mall-mall yang tersebar di seantero negeri. Nasi tumpang adalah masakan tradisional yang mungkin hanya ditemukan di Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Klaten.
Membicarakan nasi tumpang membuat perutku menjadi lapar. Di tengah rasa lapar ini aku tertarik dengan tempe sebagai bahan baku utama sambal tumpang. Tempe yang paling bagus untuk membuat sambal tumpang adalah tempe yang sudah membusuk dan berwarna kecoklat-coklatan. Jika tempe yang digunakan adalah tempe tradisional yang berbungkus daun pisang atau daun jati, rasa sambal tumpang yang dihasilkan akan semakin kuat dan istimewa.
Dalam anganku, mungkin masakan ini dulu dibuat oleh rakyat kalangan bawah. Rakyat yang tidak mampu membeli tempe, hingga pada akhirnya menemukan tempe yang disimpannya menjadi busuk. Salah satu kiat agar tempe ini tidak terbuang percuma adalah memasaknya menjadi makanan baru. Tempe busuk bukan serta-merta dibuang begitu saja, tetapi tetap dihargai dan diolah sedemikian rupa sehingga bisa dimanfaatkan kembali.
Jika tempe yang rusak dapat dimanfaatkan lagi, tentu masih banyak yang barang yang kelihatan tidak berguna dapat kembali dimanfaatkan. Barang-barang yang biasanya dibuang bisa dimanfaatkan kembali dengan cara mengubah sudut pandang kita terhadap sampah. Namun memindahkan sudut pandang ini bukan sesusatu yang mudah dilakukan. Diperlukan kepekaan agar kita bisa memandang dari sisi lain agar bisa menemukan sisi positif sehingga manfaat benda itu bisa terlihat.
Manusia jauh lebih berharga dari semua barang di dunia ini. Setiap manusia pasti pernah berbuat kesalahan dan dipandang menjadi “sampah” bagi orang lain yang disakitinya. Sangat sulit bagi orang untuk bisa bangkit dari kesalahan bila tidak lingkungan di sekitarnya tidak memberikan dukungan untuk bangkit. Yesus selalu memberikan contoh bagaimana membangkitkan seseorang bangkit dari kesalahannya. Pada suatu ketika di tengah kemarahan massa pada seorang perempuan yang didapati berzina Yesus menghampiri perempuan itu. Massa sudah bersiap untuk menghakimi perempuan itu dengan lemparan batu. Dengan lantang Yesus mengatakan: “ Barangsiapa yang tidak pernah memiliki dosa, hendaknya dia yang pertama melempari perempuan ini dengan batu”. Perkataan Yesus ini menunjukkan bahwa setiap orang pernah berbuat kesalahan kecil atau besar. Di sisi lain, Yesus kemudian menghampiri perempuan itu dan berkata : “ Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”. Perkataan Yesus inilah yang sebenarnya membangkitkan perempuan ini untuk bangkit dan memperbaiki hidupnya. Kita tidak pernah tahu apa yang kemudian terjadi pada perempuan ini. Tapi kemungkinan besar perempuan itu akan menata kembali kehidupannya dan mulai hidup yang benar di sisa umurnya. Tapi kita juga tidak pernah tahu, apakah masyarakat sekitar mau menerima kembali kehadiran perempuan ini???
Jika kita ingin melihat dampak penerimaan Yesus terhadap orang yang telah melakukan kesalahan, kita bisa melihat kehidupan Petrus. Setelah melakukan “pengkhianatan” terhadap Yesus dengan menyangkal hubungannya dengan Yesus pada malam penangkapan Yesus. Petrus terlihat sangat sedih hingga dia lari dan menangis. Petrus sangat menyesali perbuatannya itu, dan kemudian ia dengan setia mengikuti setiap proses pengadilan, penyaliban dan penguburan Yesus. Tindakan-tindakan Petrus ini bisa jadi adalah wujud penyesalan atas penyangkalannya. Ia ingin menunjukkan kepada teman-teman sekitarnya bahwa ia menyesal dan berharap dapat bisa kembali diterima oleh murid-murid Yesus yang lain. Meski para murid dapat menerima kehadiran Petrus, namun jauh dalam hati, Petrus merasa belum diterima kembali oleh Yesus hingga sampai pada peristiwa di tepi Danau Galilea itu.
Peristiwa di tepi Galilea itu sendiri terjadi sesudah kebangkitan Yesus. Seusai semalaman Petrus dan saudaranya gagal menangkap ikan. Yesus terlihat berdiri di pinggir danau dan menyapa Petrus bersaudara. Dari pinggir danau Yesus meminta Petrus bersaudara untuk menaburkan jala di sisi sebelah kanan perahu. Hasilnya jala itu dipenuhi ikan yang sangat banyak. Petrus yang kemudian mendengar bahwa orang di pinggir pantai adalah Yesus dengan segera ia meloncat dan berenang ke tepi danau menemui Yesus. Yesus dengan sabar melayani kerinduan Petrus dan meminta mereka untuk sarapan terlebih dahulu. Sesudah perut kenyang, Yesus kemudian mengajukan pertanyaan kepada Petrus. Pertanyaan yang mengubah kehidupan Petrus selamanya. “Petrus anak Yohanes, apakah Engkau mengasihi aku lebih dari yang lain?” Tiga kali pertanyaan itu diulang dan tiga kali pula Petrus memberikan jawaban.
Yesus tentu tahu bahwa Petrus sudah melakukan kesalahan padaNya. Penyangkalan yang dilakukan oleh Petrus tentu sangat menyakitkan hati karena sebelumnya Petrus yang pertama kali menyatakan akan membela Yesus sampai mati bila Yesus ditangkap. Dengan kasihNYA, Yesus ingin agar Petrus kembali pulih dan bangkit dari kesalahannya. Langkah pertama yang ditempuh Yesus adalah menerima Petrus apa adanya. Petrus yang telah menyangkali diterima dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah penerimaan tanpa syarat ini, Yesus kemudian menyatakan keinginannya kepada Petrus: Gembalakanlah domba-dombaku.
Kita bisa melihat kemudian bagaimana Petrus yang setelah diterima dan dipulihkan dari rasa bersalahnya itu. Petrus kemudian memegang teguh perintah Yesus itu sampai akhir hidupnya. Sepanjang hidupnya kemudian dipergunakan sepenuhnya untuk menggembalakan “domba-domba” –NYA. Keteguhan Petrus ini dibawa sampai akhir hayatnya. Dia mati demi mengemban perintah Yesus yang sudah mau menerimanya kembali.
Menyadari dan bangkit dari kesalahan adalah awal dari sebuah komitmen baru yang bisa mengasilkan karya yang lebih indah dikemudian hari. Namun upaya penyesalan dan tekad orang yang telah berbuat salah, semstinya juga didukung sepenuhnya oleh orang-orang di lingkungannya. Keluarga, teman, tetangga perlu memberikan dukungan agar orang yang ingin bangkit dapat merasa diterima kembali dalam lingkungannya. Penerimaan ini bukanlah sesuatu hal yang mudah dilakukan. Sama seperti melihat tempe yang sudah busuk. Memandang dari sisi lain bisa memberikan pengertian dan pemahaman yang baru. Saat kita hanya terpaku pada kesalahan, kebusukan dan keburukan, mata dan hati kita akan tertutup melihat sisi lain yang bisa dikembangkan. Perlu bagi kita semua untuk membuka mata hati seluas mungkin, karena masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan penerimaan yang tulus dari kita. Penerimaan yang tulus ini bisa membuat yang bersangkutan memulai merubah jalan hidupnya menuju yang semakin baik di kelak kemudian hari.
Tempe ini memang sudah membusuk, namun bisa dimanfaatkan menjadi sambal tumpang.
Nasi memang sudah menjadi bubur, namun bubur itu masih tetap nikmat bila ditambahi dengan sambal tumpang.
Ngomongin bubur dan sambal tumpang, aku menjadi semakin lapar..!!!!
Dari Pojok Terminal Bendogantungan, sebuah kenangan untuk ibunda tercinta...
Posting Komentar