Beban Hidup, (bukan) beban kehidupan
Suasana Pasar Beringharjo sebagai pusat ekonomi rakyat Yogyakarta selalu ramai, apalagi di hari Minggu saat orang mempunyai waktu lebih untuk berbelanja. Sebuah perusahaan dealer motor melakukan promosi dengan menghadirkan pentas musik dangdut di pelataran belakang pasar menambah meriahnya suasana pasar pagi itu.
Dari lantai satu, kami menuju lantai dua yang merupakan blok penjualan sayuran segar. Di sana terlihat seseorang yang berbelanja sayuran. Setelah memilih dan menawar, akhirnya puluhan kilo sayur-sayuran dibeli siap untuk diangkut menuju tempat parkir mobil. Penjual sayur itupun menawarkan salah satu seorang ibu untuk mengangkat belanjaan itu. Seorang ibu paruh baya menghampiri. Usianya sekitar 40-an dengan perawakan kecil dan kurus. Tidak terbayangkan tubuh yang kecil itu mampu membawa belanjaan yang puluhan kilo menuju tempat parkir mobil yang jaraknya sekitar 300 meter dari pasar. Keraguan langsung sirna, saat dengan cekatan ibu ini membelitkan selendangnya pada karung belanjaan lalu mengangkatnya dengan cara digendong di punggung belakang. Dengan lincah dan cekatan, ibu paruh baya ini berjalan dengan beban yang ada dipunggungnya menuruni lantai dua Pasar Beringharjo dan berjalan menuju tempat mobil diparkir.
Keberadaan para kuli angkut perempuan atau yang disebut buruh gendong mudah dikenali. Selendang lurik dan celemek yang mereka bawa menjadi ciri khas keberadaan mereka di tengah-tengah hiruk-pikuk aktivitas pasar. Jumlah mereka sangat banyak mencapai 500 orang yang tersebar dari lantai satu hingga lantai tiga ( Kedaulatan Rakyat 21 April 2010). Para buruh ini sanggup membawa beban hingga 70 kg baik itu sayuran, beras, tepung, telur dan barang-barang lainnya. Mereka tidak mematok harga dalam menjual jasa. Imbalan mereka dalam mengangkut barang berkisar antara Rp 3000 hingga Rp 5000 sekali angkut. Ketatnya persaingan hingga tubuh yang kian renta membuat penghasilan yang didapat tidak menentu.
Bagi sebagaian besar para buruh gendong ini, beban yang mereka pikul di punggung adalah sumber penghidupan mereka. Walaupun badan menjadi pegal-pegal, namun setiap rupiah yang mereka peroleh selalu disyukuri sebagai berkat dari Sang Pencipta. Walaupun pekerjaan yang digeluti tergolong berat, namun tetap mereka pertahankan. Lebih baik berkerja keras daripada mengantungkan hidup sebagai peminta-minta. Setidaknya dari setiap tenaga dan keringat yang menetes adalah usaha mereka menghidupi diri dan keluarga mereka di desa. Penghasilan mereka berkisar antara Rp 10.000 - Rp20.000 per hari dipergunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Demi tanggungjawabnya sebagai ibu, perempuan-perempuan ini rela tulang belakangnya harus ditempa berkilo-kilo barang setiap hari. Hanya satu yang ada dalam benak mereka, yakni menjadi orang tua yang bertanggungjawab atas masa depan anaknya. Status mereka sebagai perempuan bukan penghalang untuk memikul tanggnung jawab menghidupi anaknya dari segi materi. Pendidikan mereka boleh rendah. Namun, setidaknya mereka telah terbebas dari paradigma pemikiran bahwa kaum hawa tergantung pada pria dari aspek manapun.
Kehidupan dan kegigihan buruh gendong secara tidak langsung mengajarkan pada kita bahwa beban kehidupan dapat membuat manusia semakin kuat. Beban tidak harus segera dihindari dan diletakkan, namun tetap harus diikat dan diangkat. Beban yang membuat tubuh lelah dan letih pada akhirnya akan menguatkan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Jika hidup ini semakin berat maka yang paling bijak adalah mencari Sang Pencipta, sumber kekuatan yang selalu mencurahkan kasih dan pemeliharaanNYA bukan meletakkan beban itu.
Dengan penuh keyakinan, sebagai manusia kita dapat memegang teguh janji Tuhan ini: “Marilah kepadaKU yang letih, lesu dan berbeban berat, AKU akan memberikan kelegaan bagimu”. Kiranya kehidupan yang kita jalani akan semakin kuat dengan beban-beban kehidupan dengan sumber kekuatan dari Tuhan Sang Pemberi Kehidupan dan Kekuatan untuk bertahan..
Posting Komentar